Jumat, 15 Januari 2016

Dasar Bocah

     Gelap. Sejauh mata memandang, malam ini masih belum kau temukan seberkas cahaya dari bulan maupun bintang. Belakangan cuaca bisa menjadi sangat ekstrim disini. Yang pada awalnya terasa terik, dalam satu kedipan mata bisa berubah menjadi gelap. Dan dalam satu kedipan mata lagi, kau akan melihat pohon-pohon itu merunduk tertiup angin.

     Terlalu dahsyat. Kau pasti akan bertanya orang macam apa yang masih sanggup berdiri tanpa berteduh disaat badai. Kau justru mulai memikirkan dirimu sendiri, saat jemuran pakaian itu lupa diangkat, meninggalkan jejak basah ketika kau menyadari bahwa sedikit saja kau terlambat mengangkatnya, tidak ada lagi yang bisa kau gunakan besok pagi.

     Pemanas air terdengar bersiul. Kau mulai merasa tenang dan bergegas membuat teh hangat. Entah siapa yang akan kau ajak dalam pesta minum tehmu kali ini. Mungkin badai? Bahkan ia tak menyambutmu dengan baik, untuk apa kau undang untuk pesta minum teh?

     Tak ada obrolan dari acara interaktif untuk malam ini. Petir yang bersahut-sahutan bisa jadi alasannya. Yang jelas, kau tidak akan merelakan benda berhargamu itu hanya untuk menemani rasa kesepianmu sekarang. Teh hangat saja sudah cukup, bukan? Oh, dan lihat. Mungkin kilat-kilat petir itu juga sedang berusaha menyapamu lewat jendela rumah.

     Kau duduk manis di atas sofa sambil membaca beberapa majalah lama. Kobaran api di tungku adalah satu-satunya penerangan untukmu. Sudah biasa, pikirmu. Listrik yang tak kunjung menyala hingga malam ini, mungkin bisa saja berlanjut hingga esok pagi. Setidaknya kau merasa hangat, sehingga akan lebih baik jika malam ini kau tidur di depan perapian daripada di dalam kamar.

     Telepon rumah berdering. Memaksamu untuk beranjak dari sofa. Sembari menggerutu, kau mengangkat telepon itu. Siapa gerangan orang yang mengganggu hari santainya ini?

     "Tuan, aku menemukan Cherry!"

     Air mukamu berubah drastis. Tak ada yang kau sesali setelah beranjak dari sofa. Kau justru mulai mempertanyakan banyak hal.

     "Paman? Kubilang aku menemukan Cherry."

      Bocah itu membuyarkan lamunanmu. Membuatmu menjadi cemas pada dua hal sekarang.

     "Apa yang kau lakukan, hah? Mana ibumu?"

     "Seperti biasa, paman. Mereka pergi kerja."

     Seakan tak ada lagi pertanyaan yang bisa kau tanyakan, sedangkan otakmu sudah berisi kekhawatiran yang memuncak. Kali ini apa yang dilakukan bocah itu? Disaat badai pula! Kau tidak akan pernah mengerti dengan jalan pikirannya.

     "Cepatlah ke rumahku! Ada teh hangat yang akan menyambutmu."

     Sebuah senyum yang tak terlihat olehmu kini berkembang, seiring kau menyebut pesta minum teh sebagai acara favoritnya.

     "Baik, paman!"

     Ia pun memutus sambungan telepon. Kau duduk kembali di atas sofa, kali ini dengan lemas. Bagaimana jika terjadi apa-apa dengan bocah itu?

     "Bodoh." Gumammu.

     Tapi kau tak bisa memungkiri. Ia yang bodoh, tapi ialah yang paling kau sayangi. Satu-satunya orang yang menemanimu di hari tuanya, ketika anak semata wayangmu sibuk dengan pekerjaan dan anak-anak mereka. Jangankan untuk menanyakan kabarmu, kau sendiri tak tahu dimana anakmu berada. Sangat ironi jika kau menemukan anak tetanggamu lebih peduli daripada anakmu sendiri, bukan? Memang, hidup terkadang seironi itu. Toh, karena pada akhirnya kau tidak akan peduli dengan pertalian darah hanya untuk menganggap seseorang sebagai keluarga.



Transparent Butterfly


Tidak ada komentar:

Posting Komentar