Minggu, 18 Oktober 2015

Tidak Pernah Mengubah Apapun

Wajahnya sudah semurung awan mendung. Gelap, tapi tidak berhujan. Ia terlalu egois hanya untuk menangis. Apalagi untuk sesuatu yang tak beralasan, untuk seumur hidupnya ia tidak akan melakukan itu.

Dengan aku, yang hanya bisa memandangnya dari jauh, justru menangis melihatnya begitu. Boleh saja mereka mengatakanku cengeng begitu mengerti apa yang membuatku menangis. Atau lebih tepatnya terlalu berlebihan, mungkin? Dan tentu boleh saja, jika diriku sendiri mengatakan bahwa aku berhati lembut layaknya gadis lemah, yang sejujurnya itu sangat merepotkan untukku. Berhati kaca dan sangat rapuh. Kalaupun itu tidak ada yang menyadarinya, maka baja yang menyelubungiku sudah cukup tebal.

Meskipun ia mengatakan bahwa aku telah menghancurkan dinding yang sudah ia bangun, aku tahu itu bohong. Terlalu banyak hal yang ia sembunyikan. Terlalu banyak kesedihan tak bertuan yang ditanggungnya, apalagi harus dibagi denganku. Ia terus berbohong padaku. Bahkan aku berharap perasaannya yang ia nyatakan malam itu masih bagian dari kebohongannya.

Karena setiap kali aku ingin meraih tangannya, ia selalu mengelak. Aku tidak cukup egois untuk memaksanya, ataupun menariknya keluar dari kegelapan. Dan setiap kali aku ingin menamparnya keras-keras, ia seakan menahan pergelangan tanganku dan menatapku tajam. Semakin ia meminta waktu sendiri untuk merenungi perasaan hampa dalam dirinya, semakin aku merasa jauh dan terdorong keluar dari lingkarannya. Dan sebesar apapun keinginanku untuk menemaninya menangis, pada akhirnya hanya akulah yang menangis karena tidak bisa melakukan apapun.

dengan begini, aku mengerti bahwa,

Aku bukanlah siapa-siapa.

Aku hanyalah orang asing seperti pada awal cerita.

Karena pertemuan kami,
sesungguhnya tidak pernah mengubah apapun.


Transparent Butterfly

Tidak ada komentar:

Posting Komentar