Rabu, 23 September 2015

Selimut dan Kamu

Dari semua yang sudah terjadi seharian, hanya lelah yang bisa kita dapat. Aku, dan kamu, lagi-lagi kembali pada tempat ini. Berdua, di dalam sebuah ruangan kecil; kamarmu yang selalu menjadi tempat kita bertemu. Bertukar cerita selalu menjadi kebiasaan kita, kemudian tertawa mengenai hal yang tidak lucu sekalipun. Entah sejak kapan kita melakukan ini, tapi siapapun dari kita, terima kasih sudah memulainya. 

Kita, hanya sebatas dua orang yang bersahabat. Menyimpan janji yang tersirat--mari tidak saling jatuh cinta--tapi kita melanggarnya. Untuk melakukan itupun kita tidak bisa, bagaimana dengan membuat janji-janji yang lain? Maka, dengan begini saja tidak masalah, bukan? Tapi aku serius ketika aku mengatakan bahwa aku menyukaimu. 

"Bagaimana harimu berjalan?" tanyamu padaku. Pandangan matamu masih tidak beralih dari layar laptop. Sibuk dengan pekerjaanmu, aku pun hanya menggendikkan bahu.

"Berjalan seperti biasa. Aku lelah." jawabku singkat, kemudian bersembunyi di balik selimut. Sesungguhnya ada sesuatu yang kukhawatirkan, tapi aku tidak akan mengucapkannya padamu.

"Aku mengerti. Kegiatanmu banyak sekali hari ini, bukan? Beristirahatlah."

Lagi, kamu salah menilaiku. Sebenarnya aku lelah karena fikiranku tentangmu. Lagipula jika harus kukatakan, itu tidak akan berarti apa-apa untukmu. Atau bahkan jika aku tidak siap mendengar jawabanmu, akan lebih baik jika aku diam.

Padahal kufikir ketika aku jatuh cinta padamu, aku akan merasa baik-baik saja. Maksudku, kufikir kisah cintaku ini akan berjalan tanpa air mata. Dengan aku yang semakin hari semakin mudah menangis, rasanya tidak juga. Dengan aku yang semakin sensitif ini, mudah mencemaskan hal yang seharusnya bukan milikku, aku menjadi lebih egois. Maafkan aku, tapi aku tidak bisa berhenti. Cinta memang resiko, dan mencintaimu adalah jawaban kalau aku sudah siap dengan itu.

Kamu menghentikan pekerjaanmu, sedikit merenggangkan kedua otot punggungmu, kemudian melihatku yang sudah terbungkus selimut. Aku tampak sangat lemah hari ini, dan aku tidak ingin kamu melihatku dalam keadaan seperti ini.

"Hei." Sapamu. "Mau nonton film?"

Aku menyipitkan mataku ketika mendapatimu membuka selubung selimutku. Sebagai tanda penolakan, aku menggeleng kecil. Aku tidak ingin menonton bersamamu. Aku ingin sendiri malam ini. Tapi di tengah keruhnya duniaku, aku masih sempat merindukanmu. Itu sebabnya aku kemari, hanya sekedar membuat kamu dan aku sadar bahwa kita tidak benar-benar sendiri.

Kamu mulai mengoceh mengenai cerita yang ingin kamu tonton. Terdengar lucu. Segala caramu mempengaruhiku selalu berhasil, tuan. Kamu sungguh membahayakan. 

"Iya, aku nonton. Tapi nanti saja, aku masih mau berbaring." jawabku sembari kembali menutup diri dengan selimut. Malam ini sangat dingin. Kamu hangat. Bahkan aku tidak tahu harus memilih kamu atau selimutmu.

Tidak pernah ada keheningan di antara aku dan kamu yang membuatku tidak merasa nyaman. Tapi kamu, aku selalu takut mengenai kamu. Aku takut kamu merasa bosan melihatku yang mencintai keheningan. Kukira aku gadis yang membosankan. Jangan heran jika suatu saat kamu melihatku berusaha terlihat menyenangkan, kemudian pada akhirnya tertolak kerumunan. Hanya dengan kamu, aku berusaha mencintai diriku sendiri. Karena sebuah prinsip yang tertanam dalam otakku; bagaimana bisa aku mencintaimu, jika aku sendiri tidak bisa mencintai diriku sepenuhnya?

Akhirnya kamu memulai percakapan denganku. Kali ini kamu melibatkan dia dalam topikmu. Dia, si orang ketiga, selalu terselip secara tidak langsung di antara kita. Aku tidak tahu harus mengatakan apa selain harus tertawa. Kadang aku hanya tersenyum melihatmu terbawa nostalgia. Lucu memang, tapi aku selalu merasa bingung. Aku tidak bisa memilah perasaanku sendiri. Apakah ini rasa sakitmu yang ikut kurasakan, atau justru cemburu yang membuatku tersenyum miris?

Bukan kewajibanku untuk mengerti mengapa aku harus memilihmu. Semua terjadi begitu saja. Yang pada awalnya aku terluka karena kecewa--melihat seorang pria penuh kebohongan cintanya mempermainkanku, kemudian tidak sengaja bertemu denganmu--yang pada saat itu terluka karena penantian cinta dan ditinggalkan. Pada awalnya kita hanyalah sepasang manusia yang ingin mengobati satu sama lain. Namun saat dosis itu berlebih, kita menjadi melayang. Kita mabuk. Kita buta. Dan perlahan cinta itu tumbuh tanpa diminta.

Aku membuka selimutku. Dengan rambut yang masih acak-acakan, aku merangkak mendekatimu, membungkammu dengan melingkarkan selimut padamu. Kamu tampak bergetar, merasakan hawa malam yang semakin dingin, atau entah karena kamu terbawa perasaan sedihmu. Menurutku pilihan terakhir itulah yang membuatmu merasa menggigil.

"Sssst" bisikku. "Jangan diingat, ayo nonton" ucapku lembut sembari mencari film yang ingin kita tonton dalam folder laptopmu. Kamu diam sejenak, kemudian tersenyum menyetejui. 

"Tapi sekarang aku menemukanmu, jadi tidak masalah." ujarmu malu-malu. Kamu merapihkan rambutku, kemudian ikut melingkarkan selimutmu padaku.

Aku akan selalu ingat, setiap kali kamu ucapkan kalimat itu, kamu seperti berusaha menghiburku. Walau justru menurutku, dengan begitu kamu bisa menghibur dirimu sendiri. Aku hanya tersenyum, tidur dibahumu, dan kamu ikut meletakkan dagumu di atas kepalaku. Sekarang aku mengerti, antara selimut dan kamu, aku ingin dua-duanya.

Bahkan terkadang aku lupa, bahwa sesungguhnya akulah si orang ketiga, perampas cinta tulusmu dari gadis itu. Bukan maksudku menyelamatkanmu dari cinta yang salah. Justru dengan begini, aku takut jika akulah yang salah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar