Selasa, 29 September 2015

Mungkin Tidak Akan Pernah Terjadi

Ia ada di depan loker sepatunya. Si pria bertubuh jangkung, dengan cara berdirinya yang sedikit membungkuk, ia tampak mengacak-acak rambutnya yang sudah berantakan. Aku rasa ia sedang kebingungan melihat lokernya yang lagi-lagi penuh dengan surat. Yap, siapapun tahu apa isinya. Pria itu memang punya banyak gadis penggemar, bahkan sejak pertama kali kepindahannya ke sekolah ini. Menyebalkan sekali, sungguh.

Ini bukan berarti aku juga menginginkan popularitas sepertinya. Mendapatkan banyak perhatian dari lelaki manapun, kemudian dibanjiri surat cinta di dalam loker sepatu... ah, tidak. Itu akan sangat merepotkan. Lagipula hendak dikemanakan surat-surat itu pada akhirnya? Dibuang?

Disinilah kebodohanku. Aku sadar dengan hal itu dan aku masih saja bersembunyi di belakang loker miliknya. Menunggu dengan harap-harap cemas, menunggu waktu yang tepat untuk meletakkan surat cintaku ke dalamnya. Dan, iya, sesungguhnya yang membuatku sebal dari popularitasnya adalah aku memiliki banyak saingan. Dengan nyali yang dipaksakan, aku berharap ia mau menerima surat milikku dan menjawab perasaanku sekalipun aku harus menghadapi peluang 1 dibanding 1000. Sebenarnya tidak perlu juga aku repot-repot melakukan ini, tapi apa boleh buat. Aku terlalu egois untuk itu.

“Sedang apa disini?” tegur pria itu. Ia menemukanku lagi. Sekarang ia menatapku dengan alisnya yang tertaut penuh heran. Apa aku seaneh itu? Apa aku yang berdiri di belakang lokermu terlihat tidak biasa?

Oh iya, untuk kesekian kalinya, aku meremukkan suratku.

“Apa kau benar-benar tidak ingin ikut kompetisi itu?” tanyaku padanya. Hanya sekedar basa-basi, karena bukan itu alasanku berdiri di sini. Mungkin aku terlihat cukup pintar untuk membuat alasan. Tapi ini masih alasan yang sama untuk insiden ketahuan sebelumnya. Aku mengajaknya untuk mengikuti kompetisi kimia, pelajaran yang sangat ia kuasai. Sementara aku pun sudah tahu apa yang akan dijawab olehnya.

“Sudah kubilang aku tidak mau. Aku tidak menyukai kimia, tahu?” jawabnya. Ia menggaruk belakang kepalanya.

“Oh, ayolah! Bagaimana bisa kau mendapatkan nilai seratus hampir di setiap ujian mata pelajaran kimia? Kebetulan, hah? Atau kau mencontek?” selidikku sambil menyipitkan mataku padanya. Walaupun aku tahu apa yang akan dijawabnya, tapi melihat wajah tersudutnya itu sangat menyenangkan. Aku ingin melihatnya lagi.

“Hei! Tentu saja tidak! Kau masih tidak percaya padaku? Aku hanya bermain cantik dalam kimia, mengerti?” kesalnya. Ia memiringkan bibirnya dan menatapku sarkastik.

Lihat? Dia menggemaskan.

“Baik, baik. Aku tidak akan memaksamu. Tapi kalau kau tiba-tiba merasa ingin ikut, masuklah dalam timku. oke?” tawarku yang kemudian dihadiahi decihan olehnya.

“Itu tidak akan pernah terjadi, nona!” cibirnya padaku. Aku hanya tertawa melihatnya, lalu membalikkan badanku untuk beranjak pergi darinya. Aku sudah tahu jawabannya. Ia sungguh mudah ditebak, bukan? Atau mungkin karena aku yang sudah mulai hafal dengan kebiasaannya?

Aku masih menggenggam surat cintaku—entah sudah yang keberapa—ini erat-erat. Percayalah, ada sebuah surat yang tidak tersampaikan. Begitu juga dengan perasaanku. Tidak pernah tersampaikan dengan baik, karena ia bahkan tidak membuka hatinya sedikitpun untukku. Aku selalu merasa ingin menamparnya keras-keras. Ketidak-pekaannya itu membuatku gemas, kau tahu? Namun kerap kali aku melihat senyum lebarnya, aku lupa dengan semua itu. Lihatlah betapa besar efek senyumannya terhadapku. Terlalu menyilaukan. Aku bahkan bisa saja lupa siapa diriku.

Namun sekarang, di depan kelasku, aku kembali memandang sendu tong sampah kelas. Aku membuka surat yang sudah kuremukkan. Entah mengapa setelah membacanya ulang, tulisanku menjadi terlihat sangat memuakkan. Aku ragu apakah surat ini akan menggerakan hatinya. Mungkin jika tersampaikan, ia akan langsung membuangnya dalam sekali lihat. Aku akan terlihat sangat memalukan di depannya, bukan?

Oh, iya. Untuk kesekian kalinya, aku merobek surat cintaku.

Dan percayalah, ini akan terus berulang, sampai waktu yang tidak bisa kutentukan.

Mungkin... sampai ia membalas perasaanku secara tidak sengaja? Atau mungkin, sampai ia sudi menggenggam tanganku dan menemukan ada sesuatu yang remuk di dalam sana?

Iya, mungkin.

Mungkin tidak akan pernah terjadi.




Transparent Butterfly

Tidak ada komentar:

Posting Komentar