Selasa, 26 Mei 2015

Unrequited

Siapa yang menyangka? hari yang telah lama kutunggu-tunggu itu datang hari ini. Aku merasa semua ini terlalu cepat meskipun aku selalu memperhatikan kalender. Tapi, sungguh ini terlalu cepat. Waktu yang kuhabiskan untuk menunggu benar-benar kubuat hanya untuk menunggu, bukan untuk mempersiapkan diri. Aku merasa bodoh hanya dengan menyadari itu.

Bagaimana aku mengatakannya, ya? Mungkin kau akan mengerti jika berada di posisiku sekarang. Rasa senangku yang tak bisa diungkapkan, membuatku hanya bisa terdiam dan senyum-senyum sendiri sedari tadi. Aku terus memperhatikan sekeliling sambil memainkan gantungan tasku. Pertemuan ini sangat membuatku gugup.

Bukan! Aku bukan melibatkan diriku dalam sebuah rencana pembunuhan. Apa senyumku terlihat seseram itu? Oh, ayolah! Mereka semua menatapku dengan tatapan curiga, membuatku semakin khawatir dengan penampilanku hari ini. Atau, mungkin saja bukan senyumku yang mengerikan? Tapi memang sepertinya ada sesuatu yang aneh terhadap diriku hari ini. Apa kau juga mulai curiga denganku? Hei! Aku hanya menggunakan dress selutut berwarna biru muda, bukankah itu wajar untuk gadis seusiaku?

Well, sebenarnya, memang harus kuakui, sih... tidak biasanya aku menggunakan pakaian seperti ini. Apalagi, ini pertama kalinya aku mengikat rambutku dengan menyisakan sedikit rambut di depannya. Terlihat feminim, ya? Aku tidak menyangka aku bisa melakukan sejauh ini hanya demi seseorang.

Seseorang itu, apa kau benar-benar ingin tahu? Sebelumnya aku ingin bertanya... Apakah kau memiliki seseorang yang spesial? Apakah kau memiliki perasaan yang aneh jika bersamanya? Mungkin seperti, perasaan yang menyakitkan karena degupan jantungmu terlalu keras, atau perasaan manis di sisi lainnya. Dan apakah ia terlihat tampan di matamu? Apakah memperhatikan kelakuannya adalah hobimu sekarang?

Ah, andai aku bisa sepertimu, ya... Sayangnya posisiku tidak seperti itu sekarang. Aku memang jatuh cinta, tapi ada hal yang membuatku merasa berbeda. Merasa bahwa aku tidak pantas merasakan perasaan ini, bahkan tidak lazim untuk dipikirkan secara logika. Aku benar-benar orang yang hanya memperhatikan perasaan, bukan? Sekalipun aku tahu bahwa aku harus memikirkannya dengan otakku, tapi ada sebuah kekuatan yang menahanku untuk melakukannya. Perasaan cinta, kekuatan macam apa yang ia punya?

Kalau kau menginginkanku untuk mendeskripsikannya, maka yang akan kukatakan adalah, cinta pada pendengaran pertama. Begitu kau mendengar sebuah lagu yang menyenangkan, kemudian menemukan sebuah suara yang membuatmu terdiam sesaat dengan menyadari betapa kau mengaguminya dalam sekali dengar... yap, seperti itulah! Tapi perasaan ini lebih besar, lebih menggebu-gebu, dan cukup membuatku tidak bisa tertidur semalaman hanya dengan mendengar suaranya yang terngiang dalam tidurku.

Apakah sebelumnya aku terlalu melebih-lebihkan? Maaf jika telah membuatmu kecewa. Maaf jika ini terlalu normal untukmu. Tapi, aku tidak pernah berkata demikian. Hal senaif ini tidak pernah terjadi dalam hidupku. Bolehkah aku mengatakannya takdir? Aku orang yang kaku, orang yang selalu mendahulukan logika, dan orang yang sulit jatuh cinta. Lalu apa yang bisa membuatku semudah itu merasakan cinta hanya dengan mendengar? Apa yang bisa kuharapkan dari sebuah suara? Bolehkah aku mengatakannya takdir?
Hal yang membuatku berdiri di sini bukanlah sebatas perasaan cinta dan kagum yang seperti itu. Ada suatu hari dimana keberuntungan berpihak padaku, membuatku mendapat kesempatan untuk berbicara dengan dirinya. Berterima kasihlah pada situs video yang terkenal belakangan ini. Lagu yang aku dengar waktu itu kembali ia nyanyikan. Namun kali ini menggunakan video rekaman dan mengunggahnya di situs tersebut. Mungkin kau akan bertanya, bagaimana bisa itu adalah hari keberuntunganku? Apa karena aku bisa melihat wajahnya? Tentu! itu salah satunya. Yang kedua, aku bisa memberinya sebuah respon balik dengan mengomentari video itu.

Dan satu hal lagi yang mungkin akan kau tanyakan adalah, dimana pertama kali aku mendengar suara itu, bukan?
Radio.

Aku mendengarnya di radio.

Dan hari dimana aku memberinya komentar, ia membalasku, bersama dengan satu komentar milik orang lain yang juga dijawabnya. Sejak komentar pertama, aku mendapat kesempatan berbicara dengannya. Walau saat itu prosentase dalam mengenalnya lebih jauh adalah kurang dari tujuh persen, tapi justru karena itulah aku mendapat keajaiban lain. Ia meminta alamat e-mail, dan di hari seterusnya kami saling berbincang-bincang mengenai kehidupan. Kami saling bertanya kabar, melakukan panggilan video, bercanda bersama, dan kami benar-benar menjadi teman baik.

Lagi-lagi aku bertanya, bolehkah aku mengatakannya takdir? Aku tidak menyangka bisa semudah ini mendapatkan apa yang kuimpikan? Mengapa dunia bekerja terlalu mudah? Apa aku terlahir sebagai orang yang beruntung? Mengapa tidak dari dulu saja kisah cintaku seperti ini?

Seiring berjalannya waktu, perasaan cinta yang naif itu telah berubah menjadi cinta yang seharusnya. Sebuah perasaan yang kau rasakan ketika kau benar-benar mengenalnya dengan baik, mengenal kepribadiannya, mengenal apa yang disukainya, semua pembicaraan akan terasa menyenangkan jika itu bersamanya... Aku merasakan itu sekarang! Tapi kisah cintaku ini benar-benar tidak normal, bukan? Lagipula, siapa peduli jika aku harus duduk dan memperhatikanmu dari sebuah layar komputer? Itu tidak akan merubah apapun, meskipun sebenarnya aku menginginkan kisah cinta yang normal. Kisah cinta dimana seorang remaja perempuan jatuh cinta, dan memperhatikan orang yang disukainya dari dunia nyata, bukan dari sekotak layar yang komunikasinya dihubungkan melalui jaringan internet. Itu menyedihkan.

“Hoooiii!”

Seseorang menyapaku dengan riang dari kejauhan. Ia berlari kecil menghampiriku dan tersenyum begitu sudah berada di hadapanku.

“Apa kau sudah lama menunggu kami?” ucapnya kemudian.

Aku tersenyum simpul. Mamoru, nama lengkapnya Ame Mamoru. Ame adalah nama marganya yang memiliki arti “hujan” atau “permen”. Pria berambut jabrik ini adalah salah satu orang yang kutunggu hari ini. Bawaannya yang santai dan menyenangkan, cocok dengan namanya yang terdengar mengalir seperti air, atau manis seperti permen.

"Aku baru sampai kok!” ucapku tanpa melepas senyumku padanya. Ia juga ikut tersenyum simpul, kemudian senyum itu melebar dengan menampakkan giginya yang putih.

yokatta! Sepertinya aku tepat waktu!” ia menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

Aku merasa sedikit aneh. Seharusnya ini akan berlangsung terasa canggung, namun mengapa terasa biasa saja? Atau hanya aku yang menganggap pertemuan ini begitu penting sehingga aku terlalu gugup sebelumnya? Lihat Mamoru. dia tetap terlihat santai. Atau mungkin ini pertama kalinya aku bertemu orang asing dari luar kota, sedangkan mereka sudah sering jumpa fans dengan orang asing? Ah, iya, mungkin seperti itu.

Pria itu, pria yang ada di seberang sana, aku bisa dengan mudahnya menemukan sosoknya di antara kerumunan. Perasaan gugupku kembali mengambil alih semua kesadaranku. Kini yang kulihat hanya pria itu.

Ya! Pria yang itu! pria yang sangat spesial, yang selama cerita ini berjalan adalah mengenai dirinya. Ia berjalan, selayaknya seorang pria yang tangguh dengan rambut hitam pendeknya yang bergerak seiring hembusan angin. Kacamatanya bersinar, dan senyum itu... apakah untukku? Aku bisa merasakan pipiku memanas. Tubuh jangkungnya, dan jaket biru dongker itu, apakah terlihat serasi dengan dress biruku sekarang? Ah, tunggu, tunggu. Lagi-lagi aku terlalu berlebihan dalam menggambarkan sesuatu.

“Yo! Apa kabar, Sachi?” Ia menyapaku dengan senyum manisnya. Sebuah sapaan hangat yang ia lakukan setiap kami memulai panggilan video, sekarang ia benar-benar mengucapkannya di hadapanku. Tidak ada yang menghalanginya. Sosoknya utuh. Ia sungguh di depanku sekarang. Kau tidak tahu betapa senang dan beruntungnya aku hari ini! Rasanya seperti mimpi. Sekarang kami tidak perlu lagi menggunakan koneksi internet untuk mengobrol bersama, bukan?

“Apa sudah lama menunggu?”

“Hei, yang benar saja... Jalanmu lambat sekali, Ryu!” ledek Mamoru. Ia menepuk kepala teman masa kecilnya itu dengan telapak tangannya. Sikap mereka selalu seperti itu. Sekalipun dalam panggilan video, ataupun di dunia nyata mereka sama saja.

“Tentu saja Sachi sudah menunggu lama! Itu karena kamu!” lanjut pria jabrik itu.

Aku masih tidak bisa melepas pandanganku dari Ryu. Ia jauh lebih tampan daripada di dalam foto atau video miliknya. Sekarang aku akan mencoba menghitung, sudah berapa kali aku jatuh cinta dengannya? Sudah seberapa jauh aku jatuh sekarang? Mengingat semua percakapan manis yang kami lakukan, apakah pria ini yang melakukannya? Apa pria berkacamata ini yang aku sukai? Apa benar dia? Yah, aku tidak peduli lagi seberapa bodoh wajahku sekarang. Yang aku tahu, mataku pasti terlihat berbinar. Dan melalui kedua mata ini, seorang Ryu pasti bisa bercermin dengan baik. Karena sosoknyalah... tidak! Hanya sosoknya. Hanya sosoknyalah yang sekarang memenuhi pandanganku sekarang.

“Eh?” Ryu mengusap dagunya, kemudian melihatku dengan sedikit mendekatkan diri padaku. “Apa selalu begini cara berpakaianmu?”

Rasanya ingin berteriak untuk melepas kegugupanku. Di jarak sedekat ini ia memperhatikanku, kemudian berkata seperti itu, apa ia benar-benar ingin membuatku gugup seharian? Dan apa itu? Bertanya mengenai pakaian? Yah, aku sedikit senang mendengarnya. Pada akhirnya kau menyadarinya, ya! Senang sekali jika kau berpikir seperti itu.

“Karena ini hari spesial, maka aku ingin menggunakan sesuatu yang berbeda!” ucapku jujur. Aku tersenyum selebar yang aku bisa. Aku ingin terlihat menyenangkan di depannya. Aku ingin menunjukkan betapa senangnya aku hari ini.

“Begitu, ya...” gumamnya sambil membenahkan kacamatanya. Senyumnya itu membuatku tidak tahan. Mengapa ia tampak begitu tampan hanya dengan menunjukkan senyum itu? Apa senyumnya itu semacam kutukan? Ia menyeretku ke dalam dunia lain, dan menelanku bulat-bulat di sana.

Mamoru tertawa riang. Ia menggaruk belakang kepalanya. Sepertinya, tidak hanya aku yang terlihat senang hari ini, pria ini pun juga. Mata hijaunya itu menyiratkan kebahagiaan. Aku tidak mengerti apa selama ini dirinya memang seperti itu, atau aku yang selama ini tidak menyadari semangatnya?

“Apa menurutmu hari ini spesial?” tanyanya, kemudian kembali tertawa riang. “kau ini berlebihan, Sachi! Hahahahaha”

“H-hee?? Benarkah?” tanyaku balik. “aku hanya berusaha jujur...”

“Yah, itulah Sachi kita. Selalu berlebihan dalam situasi apapun” ujar Ryu dengan mengerlingkan satu matanya padaku. Aku yakin ia berusaha memberi respon dengan mengucapkan apa yang ia tahu.

Lagi, aku kembali tersedot dalam pandangan matanya. Aku masih tidak percaya pria yang selama ini kusukai melalui dunia maya bisa berada di sini, di depanku. Kekuatan macam apa yang telah merasukiku sehingga aku tidak merasa bahwa ini pertemuan pertama kami? Ini lebih seperti reuni kawan lama. Apa karena semangat yang Mamoru tularkan saat pertemuan pertama tadi? Apa tadi itu semacam strategi?
“Sachi?” Ryu melambai-lambaikan tangannya tepat di depan wajahku. “Kau tidak apa-apa?”

Aku tersentak. Ia menyeretku dalam pesonanya tanpa ijin, kemudian mengembalikanku pada kenyataan tanpa ijin pula. Benar-benar pria yang tidak sopan. Tapi mengapa aku bisa menyukainya? Sachi bodoh!

“Tidak apa-apa. Hehe” jawabku dengan tersenyum manis. Senyum ini tidak akan kutunjukkan pada siapapun kecuali Ryu. Dia berhak mendapatkannya. Dan pertemuan ini, selangkah lebih dekat untuk mengenal Ryu lebih jauh, bukan? Aku terlalu cepat jika aku ingin memilikinya. Tapi sejujurnya, itulah yang kurasakan sekarang. Semua yang kulakukan bersama Ryu di dunia maya, bukankah cukup membuktikan bahwa kami saling menyukai? Mengingat itu membuat pipiku kembali memanas.

“Perjalanan yang jauh membuatku lapar. Ada saran kafe yang bagus, tidak?” Mamoru mulai mengedarkan pandangannya pada setiap kios yang ada. Hari ini memang cukup ramai, berhubung ini adalah hari Minggu, pasti akan sulit menemukan kafe yang masih menyediakan cukup banyak tempat. Hari ini aku sangat bersemangat, maka aku akan mencarikan kafe yang makanannya enak demi Ryu. Dia pasti akan senang.

“kau mau kafe yang seperti apa, Ryu?” tanyaku. Aku tak akan lupa dengan senyum manisku. Apa dia melihatnya? apa dia melihat senyumku? Kau melihatnya, kan, Ryu?

“Terserah kau saja.” Jawabnya dengan mengancungkan jempolnya “apa saja yang penting bisa membuat Mamoru senang.”

“HE? KENAPA AKU?” sengit Mamoru tidak terima. “Kau semakin hari semakin mencurigakan.”

Ryu tertawa senang melihat responnya. Ryu pernah mengatakan padaku bahwa menggoda Mamoru dengan cara seperti itu memang hal yang menyenangkan. Kau perlu mencobanya suatu saat, ucapnya. Mamoru tampaknya sangat terobsesi dengan rasa bencinya terhadap homoseksual, dan Ryu, teman masa kecilnya, menyadari kelemahan ini sehingga terkadang menggunakannya sebagai senjata untuk mengancam--atau apapun itu--hanya untuk kesenangan Ryu sendiri.

Walau terkadang Mamoru menyadari hal ini, tetap saja ia takut kalau-kalau semua ucapan Ryu tidak sekedar candaan. Aku juga mengatakan bahwa Mamoru perlu berhati-hati dengan obsesinya itu. Perasaan benci itu tidak abadi. Dan coba tebak apa yang ia katakan?

Jika suatu saat aku menjadi homo. Siapapun itu, asal aku tidak bersama Ryu, aku tidak masalah!

Justru ucapan seperti itulah yang membuatku lebih mencurigai Mamoru daripada Ryu, bukan?
“Sachi! Sachi! Bagaimana kalau kita ke kafe itu saja?” ajak Mamoru. Ia menarik-narik lengan bajuku, seperti anak kecil saja.

“Boleh...” jawabku lirih. Sebenarnya aku merasa ragu juga dengan kafe itu. Siapa tahu sudah penuh? EXpresso Cafe belakangan cukup terkenal dengan menu ice cream jumbo terbarunya. Sangat meragukan jika aku mengatakan kafe itu memiliki cukup meja kosong untuk kami.

“Kalau begitu ayo kesana!” ujar Mamoru penuh semangat. Ia berlari lebih dulu ke arah kafe tersebut. Belum sampai seperempat jalan, Mamoru kembali berlari ke arah kami, kemudian langsung menarik tanganku.
“ayo, Sachi! Cepat! Sebelum kafe-nya benar-benar penuh!”
Mamoru kembali berlari, dan sekarang justru mengajakku berlari juga! Apa maksudnya, sih?

Kami berlari menuju kafe sedangkan Ryu tertinggal jauh di belakang. Melihat Ryu yang tersenyum memaklumi, aku pun berhenti berlari dan menahan tangan Mamoru.
“Kau ini! Jangan tinggalkan Ryu sendirian!” ucapku kesal. Aku ingin kembali saja. Lebih baik aku berlari bersama Ryu dan meninggalkan Mamoru sendirian di belakang. Bisakah mereka bertukar tempat sekarang?

Mamoru menggerakkan jari telunjuknya di depan wajahku. Ia tertawa senang melihatku tiba-tiba berhenti merengut, kemudian ia berujar dengan pelan, “Ryu itu dulu atlet lari.”

Mataku terbelalak. Pipiku merona merah. Sebuah gambaran Ryu sedang berlari dalam olimpiade terputar jelas dalam benakku. Di samping itu, aku juga memikirkan bagaimana Ryu berlari untuk mengejarku di sebuah padang rumput yang luas.
“Tapi rahasia, ya!” lanjut Mamoru dengan mengerlingkan satu matanya. Aku mengangguk senang, dan kami kembali berlari menuju kafe. Aku menoleh ke belakang sebentar, kemudian tersenyum-senyum sendiri melihat Ryu yang ikut berlari mengejar kami.

“Lebih cepat Mamoru!” ujarku.

***

Bersyukurlah, di hari seramai ini kami menemukan satu meja kosong. Dan berterima kasihlah pada Mamoru yang telah mengajakku berlarian hanya untuk mendapatkan meja ini. Oh, ya... dan seharusnya Mamoru berterima kasih juga karena aku sudah mau berlarian dengannya. Itu sangat merepotkan, kau tahu?
Ice cream jumbo ini menarik perhatianku.” Gumam Mamoru sambil menggosok dagunya. Ia tampak fokus dengan lembaran menu yang ia pegang.

“sepertinya kalimat itu tidak hanya kau yang mengucapkannya.” Ucapku dengan menyipitkan mata. Ia tertawa lebar, benar-benar tawa khas Mamoru.

Aku mengedarkan pandanganku untuk mencari Ryu. Ia lama sekali. Dia itu benar-benar atlet lari atau bukan, sih? oh, atau jangan-jangan pemuda yang ada di depanku ini yang tadi sedang berusaha membohongiku?

“Mencari Ryu?” sindir Mamoru tanpa mengalihkan pandangannya dari menu. Aku terhenyak dan mengetuk meja pelan.

“T-tentu saja, dong! Dia lama sekali...” ucapku tergagap. Aku menenggelamkan kepalaku di antara lipatan tangan dan terus menggerutu. Nada sindiran Mamoru benar-benar membuatku kesal. Memangnya dia sendiri tidak merasa bahwa Ryu sudah terlampau lama hanya untuk berlari?

Mamoru mendecih. Mendengar itu, aku langsung menegakkan kepalaku dan memberikan tatapan semenjengkelkan mungkin untuknya. Bisa-bisanya ia mendecih di saat akulah yang dibuatnya kesal?

“kau ini benar-benar serius dengan perasaanmu, ya?”

Aku terbelalak. Mamoru masih mengingat kisah itu. Ucapannya membuatku tiba-tiba merasa lebih diam dari sebelumnya. Ingin rasanya mengatakan tentu saja sambil memukuli punggungnya dengan tertawa keras. Tapi begitu mendengar nada suaranya itu, ditambah dengan aku tidak bisa melihat ekspresi wajahnya dengan jelas karena lembaran menu, aku mengurungkan semuanya. Sekarang aku lebih ingin menanyakan banyak hal pada Mamoru. Ini lebih seperti, ia menyembunyikan sesuatu dariku. Bahkan mungkin sudah lama sebelum kami bertemu hari ini.

“Y-ya...,” aku memainkan jemariku sambil tertunduk malu. “k-kau kan tahu...”

“Setelah setahun lebih berlalu?”

“...” aku terdiam dan semakin tertunduk.

“Setelah banyak hal yang menyakitkan yang ia lakukan padamu?”

Aku menegakkan kepalaku, memandangi wajah Mamoru yang kini sudah tampak terlihat serius. Pandangan mata yang datar itu seakan menyiratkan segalanya. Sesuatu yang tersembunyi itu, sebenarnya sudah lama terkuak. Aku selalu menyangkalnya.

Kau tahu mengapa? Karena aku tidak siap dengan kenyataan. Aku akan lebih bahagia jika hidup dalam delusi, bukan?

Dan juga, karena tidak ada bukti yang kuat mengenai hal itu. Maka lebih baik begini saja.

“Dengar,” Mamoru meletakkan lembaran menunya, kemudian duduk dengan sedikit memajukan badan. “Aku selalu ada kalau kau butuh bahu.”

Tatapan mata itu nampak sangat tajam. Aku sempat tidak mengenal Mamoru. Mamoru yang selalu terlihat semangat dan bodoh, kini menampakkan sisi dewasanya. Ia sedang kerasukan, bukan? Apa hari yang panas ini telah membuatnya seperti ini?

Mamoru, kamu sakit?” ucapku sekenanya dengan menyentuh keningnya.

Ia menepis tanganku dan wajahnya memerah seketika. Mamoru membanting badannya ke sandaran kursi. Ia melipat tangannya sambil menyembunyikan wajahnya dengan rambutnya.

Apa aku melakukan hal yang salah? “Mamoru?”

“Hey! Kalian!”

Aku mendongak begitu mendengar suara Ryu yang familiar. Akhirnya ia datang juga. Aku tersenyum senang dan beranjak menggeser tempat dudukku untuk memberinya bangku. Namun hal itu aku renungkan lantaran aku melihat seorang gadis yang bersembunyi di belakang Ryu.
“Oh, hai!” sapaku riang pada gadis itu. “Aku Sachi.”

Ryu tampak memberikan isyarat gadis itu untuk menyambut uluran tanganku. Dengan malu-malu gadis itu meraih tanganku dan berucap, “Aku Namie”

Aku tersenyum senang mendengar namanya. “oh, jadi kamu yang namanya Namie?” ucapku sambil menggeser bangku untuk Namie. “Sini duduk”

“Lama sekali. Kamu ini mandi di toilet, ya?” ucap Mamoru kesal, menatap malas Namie yang dirasa sudah merasa banyak membuat waktunya untuk menunggu. Namie hanya tersenyum sambil menggaruk pipinya.
Yah, mengenai Namie, dia itu gadis manis. Wajahnya imut, dengan rambut panjang bergelombang membuatnya mirip seperti seorang idola yang ada di televisi. Kepribadiannya tertutup dan dia itu sangat pendiam. Itu saja sih yang pernah aku dengar tentangnya. Mamoru dulu sering menceritakannya,

Aku tidak curiga? Ah, tidak tidak. Namie itu adik Mamoru. Mungkin agar aku tidak menjadi perempuan sendirian disini, maka dari itu Mamoru mengajaknya.
“Ngomong-ngomong, kamu sudah kenal Namie?” tanya Ryu. Ia tampak senang mendapatiku sudah mengenal Namie.

“hmm, yah... aku hanya mendengarnya dari Mamoru.” Ucapku sambil menoleh pada Namie. “nee... kau adik Mamoru, kan?”

Gadis itu mengangguk pelan. Senyum manisnya itu benar-benar membuatku gemas.
“Berarti kau sudah tahu ya kalau dia ini kekasihku, hm?” tanya Ryu menaikkan satu alisnya. “wah daya stalkmu luar biasa.”
Kekasih?

“Hah?” Kekasih, hah?

Aku... tidak salah dengar, kan?

“Iya. Aku pacarnya Ryu-kun.” Sahut Namie malu-malu. Wajahnya menunduk. Rambut panjang itu tergelung menutupi wajahnya.

Pa...car?

Mamoru terlihat gelisah. Ia tampak ingin sekali menghancurkan suasana ini. Hal yang ia sembunyikan sudah terkuak, hah?

Rasanya ingin sekali tertawa. Menertawai Mamoru yang tampak gelagapan, kemudian menertawai kebodohanku sendiri.

Lihat, sudah seberapa bodoh wajahku sekarang. Mau berapa lama bola mata ini bergetar hebat?
BRAK!

Mamoru menggebrak meja dengan kedua tangannya. Tanpa melirik, aku sudah tahu bahwa ia sedang memandangku. Sedangkan aku sendiri, pandanganku masih terkunci pada Ryu. Pandangan lebarku menemukan Ryu yang terkejut dengan pergerakan Mamoru secara tiba-tiba. Aku masih belum bisa berkedip, sungguh. Untuk bernafas pun, aku lupa caranya.

“Ada apa Mamoru?” tanya Ryu dengan bawaannya yang tenang.

Diam. Suasana menjadi hening.

Aku masih tidak bergeming. Memori menyenangkan bersama Ryu kembali berputar. Aku masih ingat bagaimana, dan saat-saat dia berbicara empat mata denganku di panggilan video, dan topik-topik manis itu... omong kosong?

nii-chan?” kini Namie ikut terheran dengan Mamoru.

Apakah ini giliranku untuk angkat bicara? Sekalipun tenggorokanku setercekat ini, kau masih menginginkanku untuk berbicara Mamoru? Jangankan untuk berbicara, rahangku sudah terasa sangat kaku. Kau bisa mengerti kan, Mamoru?

Mataku yang melebar perlahan menutup. Aku berusaha menahan sekuat tenaga untuk tidak menumpahkan segalanya di sini. Air mata ini... sangat memalukan untuk dipertontonkan hanya karena cinta yang tak terbalaskan.

Setelah aku merasa bisa bertahan dengan perasaanku yang hancur, aku kembali membuka mataku. Aku harap pandanganku kini tak terlihat lemah. Pikiranku terus melafalkan pernyataan bahwa aku ini gadis kuat.

Aku gadis kuat. Aku bisa melewati ini.

Aku tersenyum lemah, memberi isyarat untuk Mamoru. Aku tahu kali ini ia ingin melakukan sesuatu. Dan tatapan itu, aku yakin ia sedang meminta ijin dariku untuk melakukan apa yang ia mau. Aku tahu. Aku selalu tahu. Lakukan apa yang kau mau, Mamoru. Aku tahu ia selalu mengerti saat dimana aku benar-benar merasa lemah.

“Ryu, aku mau beli sesuatu. Ikut?” Mamoru mulai beranjak meninggalkan meja.

“Bodoh! Jadi daritadi kamu belum pesan apapun?” ledek Ryu sambil mengekor di belakangnya.

Yap.

Sekarang tinggal kami berdua.

Aku... dan gadis manis ini.

Ah, maksudku... kekasih dari orang yang aku sukai. Aku sungguh tidak bisa berpikir dengan jernih. Mengingat semua yang sudah aku lewati bersama Ryu, aku sungguh tidak habis pikir. Kebohongan macam apa yang sudah ia katakan padaku? Sekalipun pria itu memang tak pernah berbicara atas nama cinta, mungkin karena memang aku terlalu bodoh untuk menyadari itu semua. Rasa pedulinya hanya sebatas rasa peduli. Bukan lebih. Tapi ia sudah membuatku jatuh sejauh ini, seharusnya ia bisa bertanggung jawab!

Ironis. Tidak, aku bukan menyalahkan Ryu. Ini karena aku. Seharusnya aku juga tidak bisa menyalahkan siapapun. Ini murni kesalahanku sendiri.

“Kau pacarnya Ryu?” tanyaku memastikan. Ah, bodohnya aku. Ini seperti aku memberi sayatan kedua di atas sayatan pertama.

“I-iya,” jawabnya dengan bersemu merah. “Kenapa?”

“Ah, tidak.” Aku menelan ludahku. “tidak apa2”

“Kau tampak kecewa”

Aku diam. Apa aku terlihat semudah itu untuk dibaca? Sepertinya tidak seharusnya aku meremehkan gadis ini.

“Kau menyukainya?” tanyanya polos. Ia menatapku dengan mata lebarnya yang imut itu.

“Aku berbohong jika aku mengatakan tidak.” Aku menghela nafas. “Tapi, kalau dia memilihmu, ya sudah.”

Sekarang giliran Namie yang diam. Aku kembali menutup mataku, kemudian terus merutuki diriku sendiri. Mengapa aku menjadi sok keren begini di hadapannya? Padahal baru saja aku menyapanya dengan riang, sekarang aku memperlakukannya begini?

Benar-benar bermuka dua. Aku benci diriku sendiri.

“Kau tidak marah?”

“Lagi-lagi aku berbohong jika aku mengatakan tidak.” Jawabku seadanya. “aku hanya tidak tahu harus berbuat apa”

“Lalu?” ucapnya melemah. Kini ia tampak merasa bersalah.

Hei, Namie. Ini bukan salahmu. Aku memang marah. Tapi aku tidak mengerti siapa yang harus kumarahi. Dan dengar,

“Rasanya... ingin sekali menghancurkan kafe ini. Tapi jika kau yang dipilihnya, hal konyol dengan menghancurkan semua yang ada di depan mataku pun tidak akan mengubah apa-apa.” Jelasku menenangkannya. “Aku hanya perlu sedikit bertahan, bukan?”

Ia memainkan jarinya. Aku tidak tahu apakah ucapanku barusan benar-benar menenangkannya atau tidak. Dan entah mengapa aku menjadi terlihat sangat kejam dalam sudut pandang lain. Sudut pandang diriku? Hahaha, ya, benar. Ini benar-benar menyiksa diri.

“Kau pasti bekerja sangat keras.”

Oh, benar. Terima kasih sudah membuatku merasa senang. Tapi ini terasa sangat lucu, bukan? Aku berusaha menenangkanmu dan sekarang justru aku yang merasa tenang. Aku benar-benar kejam.

“Tidak sekeras itu,” gumamku. “Aku ini lemah. Kau harus berpikir dua kali jika mengatakan hal itu di depanku.”

“Justru itulah yang membuatmu kuat.”
“...”
Sungguh, rasanya aku ingin menangis. Sikap baiknya itu benar-benar membuatku semakin lemah.

“Lagipula, kau juga terlihat baik.” Ucapku jujur. “jadi, jagalah dia.”

“oh, maksudku, yah... tanpa aku berkata seperti itupun kau juga akan menjaganya.” Lanjutku dengan tawa hambar.

Aku menggigit bibir bawahku. Aku sudah terlampau jauh. Rasanya ingin pergi dari sini dan membanting diri. Sok kuat. Memalukan.

“Kau mulai membuatku kesal.”

Benar. Aku juga. Bahkan aku lebih kesal dengan diriku sendiri daripada perasaan kesalmu itu.

“Sikapmu yang seakan tidak peduli itu membuatku muak! Kalau kau marah ya marah saja!” tegurnya dengan mengerucutkan bibirnya.

“Memang apa perlunya marah padamu?” tanyaku dengan tersenyum setengah hati. “merepotkan sekali.”

“Kalau kau tidak suka, kenapa tidak rebut saja dia?”

Pandanganku beralih cepat. Aku menatapnya dengan penuh amarah.

“Maumu apa, sih?” kesalku. “jaga mulutmu! Kau ini pacarnya. Tidak pantas bicara seperti itu!”
“kau membuatku muak!”

“lalu kenapa memulai pembicaraan?”

Ia diam. 
Apa kau mulai membenarkan ucapanku, hm?

“Aku ini memuakkan, kau tahu?” keluhku padanya secara tidak sadar. “Kalau kau sudah mengerti, lebih baik kau diam dan nikmati saja pertemuan kita ini.”

Perlahan aku menunduk dan memainkan jemariku. Aku kembali menutup mataku, menahan semuanya. Sekalipun hanya di depan Namie, aku tetap tidak akan menunjukkan sisi lemahku.

“Lagipula, apa salahnya merelakan?” gumamku.

“Kalian terlihat lebih cocok,” Ucapku lirih. “Aku akan mendukung kalian.” Lanjutku dengan tersenyum lembut.

Well, aku harap senyumku tidak terlihat menyakitkan.

Hening beberapa detik. Namie, maupun aku, tidak ada yang ingin memulai percakapan. Hingga pada akhirnya gadis itu menghela nafas.
“Terima kasih sudah melakukan ini untukku dan Ryu.” ucapnya sambil tersenyum manis.

Aku menahan decihanku. “Jangan salah paham.”

“Aku melakukan ini bukan untukmu.” Ucapku kesal. “Aku sedang melawan diriku sendiri. Selama ini aku terlalu egois, mungkin ini adalah hukuman untukku.”

Mendengar itu, ia justru tertawa. “Sudah kuduga. Kau memang sangat bekerja keras.”
Tawanya itu benar-benar menular. Ia gadis pendiam yang menyenangkan.

“Tidak juga.” Jawabku sambil tersenyum.

“Ah, ini diaaa!” Mamoru datang sambil membawa nampan, dengan Ryu membawakan minuman di belakang Mamoru. Kami berdua tersentak kaget melihat apa yang dilakukan oleh kedua pemuda itu.
“Kenapa tidak meminta maid saja sih untuk mengantarkannya?” kesal Ryu sambil membenahi kacamatanya. "Dasar Mamoru!"

Ah, Ryu... Melihatnya masih saja terasa sakit. Pria tampan ini, yang hampir setiap malam mengobrol denganku ternyata sudah milik orang lain. Perasaan sedihku kembali menyeruak.

Mamoru mengambil tempat duduk di depanku. Ia menyodorkanku jus melon sambil tersenyum lebar.
Aku tersenyum sambil menerima jus melon itu. Bahkan aku sudah tahu dari awal kalau Mamoru memang mengerti saat-saat terlemahku. Dan apa ini? Bahkan ia mengerti minuman favoritku.
“Jus ini identik dengan Sachi” ucap Mamoru seakan mengerti pikiranku. Aku melotot sebal. Memangnya aku selembek ini apa?

Walaupun aku sudah merasa tenang, perasaan sakit itu masih menghantui. Tanpa melihat pun aku bisa mengerti bahwa Ryu dan Namie sedang asyik mengobrol. Mereka mungkin tampak terlihat mesra sekarang. Tawa serenyah itu, pasti bukan aku yang bisa membuat Ryu begitu. Ryu memang tampak berbeda jika bersama Namie.

Ketika aku mencoba melirik ke arah mereka berdua, Mamoru langsung menjepit pipiku dan mengarahkan wajahku untuk terus menatapnya. Tatapan matanya menyiratkanku untuk tidak melihat mereka berdua. Setidaknya, bukan sekarang.

Aku tersenyum lebar. Berusaha mengatakan bahwa aku baik-baik saja. Dan dia ikut tersenyum senang, seakan mengatakan kau hebat.

Nee... Mamoru. Kau lihat, kan? Aku benar-benar gadis yang kuat.

Untuk kesekian kalinya, perasaanku kembali hancur lebur. Ryu yang membuatku jatuh, seakan membuatku jatuh lebih dalam, kemudian menguburku hidup-hidup. Kau tidak akan mengerti sehancur apa perasaanku. Perasaan ketika seseorang yang tak terduga datang dalam hidupmu, memberimu sesuatu yang pantas diperjuangkan, kemudian dirinya sendirilah yang menghancurkannya. Ah, mungkin aku saja yang terlalu berharap ya?

Sudah kuduga, sesuatu yang senaif ini tidak cocok untukku. Aku sudah tidak peduli lagi. Perasaanku yang hancur membuatku merasa bahwa aku tidak akan bisa merasakan apapun lagi. Buta. Ia membuatku buta. Cinta yang menghancurkanku... bisakah ini berakhir? Aku sudah tidak menginginkan perasaan ini. Kalau bisa, aku tidak keberatan jika aku juga dilenyapkan bersama perasaanku.

Dan sekali lagi...

aku benar-benar gadis yang kuat, bukan?



Transparent Butterfly




Tidak ada komentar:

Posting Komentar