Minggu, 08 Maret 2015

Perasaan yang Kembali

Sekarang aku mengerti. Apa yang bisa lebih buruk dari menunggu?

Semua orang tahu bahwa menunggu memang melelahkan. Tapi apa mereka sudah mengerti? Apa yang bisa lebih melelahkan dari menunggu?

Pagi itu terasa damai. Dengan sedikit menyeruput teh hangat,  membuat pagi itu terasa lebih menyenangkan. Matahari tidak begitu terik kali ini. Hawa dingin tidak lagi membawa luka. Tidak seperti malam kemarin, ketika semua perasaan yang kau anggap sebuah bisikan sementara masih ada dalam diriku. Ketika perasaan itu hinggap dengan manis,  namun pada akhirnya justru menggerogoti diriku sendiri.

Banyak hal. Begitu menyenangkan percakapan kita malam itu. Lewat panggilan video, kita bertukar pikiran. Semuanya... pada akhirnya menjadi memori saja. Semua lagu yang kau tunjukkan padaku, hingga saat ini masih berputar lembut di menjelang tidurku. Pesan singkat lama menjadi satu-satunya yang menghibur perasaanku. Pun jika aku menangis, siapa yang akan mengusapnya kalau itu bukan aku?

Aku bahkan ingat. Jalan menuju apartemen yang kulalui itu adalah kali pertama kita bertukar pesan singkat. Kau adalah orang asing, dan aku pun begitu. Tapi percakapan hangat itu membuktikan bahwa kita sudah seperti kawan lama. Dan di ujung jalan apartemen, aku mulai menemukan diriku merasa tertarik dengan permainanmu.

Aku bahkan masih ingat. Panggilan video pertama kita berlangsung sangat lama. Pada awalnya aku tak mengerti. Siapa kau, dimana kau, bagaimana kau, dan beberapa pertanyaan tentangmu. Namun setelah semua berakhir, hal yang terlintas adalah mengapa.

Mengapa semua terasa manis?

Tapi pagi itu, sudah kesekian kalinya aku merasa damai. Setelah perasaanku padamu sirna, mungkin sejak awal tahun, aku merasa bebas. Perasaanku hanya meninggalkan abu, yang tinggal ditiup saja semua akan berterbangan.

Sayangnya tidak. Aku terlelap dan terbangun pada pukul 2 siang. Sebuah mimpi berhasil menyeretku kembali pada ruang waktu. Aku seperti dihempaskan banyak kertas. Memaksaku untuk tidak membakarnya kali ini. Tidak ada abu lagi untuk ditiup. Perasaan itu utuh! Bersemayam kembali pada hati yang kosong.

Kau kembali menjadi hantu pada setiap malamku. Menjadi sebuah lagu wajib yang harus aku nyanyikan. Perasaan yang keberadaannya berarti, sekaligus belati yang menikam. Lantas apa yang harus aku lakukan? Aku takut, jika suatu hari nanti aku membaca surat tahunan yang selalu aku peruntukkan pada diriku sendiri, hampir separuhnya menceritakan bagaimana aku harus bertahan dengan perasaan cinta yang melelahkan.

Aku masih tak mengerti mengapa aku harus berteriak jika aku telah menemukan sebuah jarak. Tak akan pernah sampai, kecuali aku harus berteriak di hadapannya. Kata orang, menyatakan cinta hanya perlu berbisik. Biarkan angin yang membawa pesanmu. Tapi apa? Sekalipun itu angin topan, tak ada suaraku yang bisa menggetarkan dirinya.



Transparent Butterfly

Tidak ada komentar:

Posting Komentar