Sabtu, 27 Desember 2014

Sarah Akan Kembali

Manik birunya masih memandang ke luar jendela. Tak bosan-bosannya ia mengamati setiap air yang jatuh pada genangan itu, menyisakan suara yang familiar dan menenangkan untuknya.
Hujan, membuatnya kembali pada kenangan lamanya.
Ia masih ingat saat Sarah, teman masa kecilnya, yang tiba-tiba lari menghampirinya di halte dengan senyum lebarnya dan berucap,
"mau bakso?"

Dan sekarang ia tidak akan mencoba untuk mengingat apa yang terjadi selanjutnya.
Hal yang sangat membahagiakan, sehingga ia terlalu takut untuk mengingatnya kembali.

Bagaimana jika kebahagiaan itu sudah sirna?
Bagaimana jika selamanya Sarah yang menyebalkan itu tidak akan pernah ada lagi untuknya?

Itu membuatnya takut. Sangat takut.

Dan sore itu, dalam ketakutannya, Sarah menghubunginya.

Sudah lama sekali, ya. Sejak insiden itu...

Mungkin Sarah terlalu sibuk. Ia sendiri tidak berani mengganggunya sedikit pun.
Justru ia berpikir, jika ada yang membuat Sarah terganggu, ia lah alasannya.

"hei! bagaimana keadaanmu?"

Hening. Jangan salahkan dirinya jika ia terlalu sulit berbicara.

Bukan. Bukan karena ia terlalu bahagia atau hal ini membuatnya diam.
Lidahnya kelu, sakit, bahkan satu kata pun ia tak sanggup.
Ia meremas ranjang miliknya, merasa ada yang salah.

"baiklah. aku akan kesana."

Entah mengapa bagian dari dirinya merasa tidak rela sambungan telepon Sarah terputus.
Ia pikir, ini akan menjadi yang terakhir.
Suara itu akan menjadi suara yang terngiang dalam tidur panjangnya.
Tapi tidak. Semoga.

Pandangannya kembali pada jendela. Hujan itu mereda, membuat hatinya mendadak tak karuan.
Semua ingatannya kembali mengusik, namun kini ia masih berusaha tenang.

Sarah akan kembali...

Ia terus melafalkan kata itu, seakan Sarah adalah satu-satunya yang bisa ia harapkan sekarang.
Memang benar. Sarah segalanya, untuknya.

hingga ingatannya berakhir pada ucapan Sarah di telepon.

Ah, suara itu...
tenang sekali rasanya.

Ia merasa akan lebih tenang jika menunggu Sarah dengan sedikit berbaring di ranjang berbau obat miliknya.
Dengan sombongnya ia mengabaikan cairan infus yang kian menipis. Ia merasa tidak ada gunanya lagi bertahan dengan benda itu.
Ia mulai menangis, namun tak mengerti apa hal yang ia tangisi.

Dan sore itu ia terlelap, dengan air di sudut matanya, yang kini berhenti seiring hujan.
Tak ada celah untuk matahari, semua gelap.
tetesan terakhir itu akan menjadi pertanda, saksi, dan bukti...

Bahwa hidupnya itu akan terasa lebih bermakna, jika saja ia tidak menuruti matanya yang berat selama menunggu Sarah kembali.
Ketika matanya mulai terpejam, tak ada lagi memori yang terputar.
Tak ada lagi suara Sarah yang terngiang.
Satu hal yang membuatnya ingin menangis; bukan ini yang ia mau.

Walau Sarah kini telah benar-benar kembali, mengapa ia yang harus pergi?



Transparent Butterfly

Tidak ada komentar:

Posting Komentar