Jumat, 14 November 2014

Maestro

Pagi itu, Rizal sedang menikmati hari minggunya dengan bersantai di depan rumah. Sesekali ia menyeduh teh hangatnya sambil membolak-balikkan sebuah majalah yang barusan ia dapatkan dari tetangganya. Hingga detik ini, tak ada satupun artikel yang menarik di matanya. Terkadang ia menguap begitu matanya terpaksa membaca salah satu artikel di sana. Membosankan, pikirnya.

Ia pun memutuskan untuk mengakhiri kegiatan membacanya. Setelah dipikir lagi, sia-sia juga ia membuang waktu luangnya hanya untuk membaca majalah itu. Begitu ia beranjak masuk ke dalam rumah, bajunya tiba-tiba ditarik oleh seorang bocah laki-laki.

“Kak, lihat nih!” seru bocah itu. “Ada nama toko musik papa disini!”

Rizal menaikkan satu alisnya. Matanya mulai menyelidiki halaman yang dimaksud adiknya itu. Pandangannya tetap datar, sekalipun itu menyangkut perusahaan ayahnya, ia tetap tidak ada minat. Tidak sama sekali.

“Papa hebat ya, kak! Tokonya bisa masuk majalah.” Serunya lagi.

Berbeda dengan adiknya, Rizal sungguh tidak minat. Justru ia semakin muak melihat artikel itu.

“Tidak ada hebatnya,” gumam Rizal. “Hanya artikel biasa.” Kemudian ia meninggalkan adiknya yang mulai memasang wajah tidak terima.

“Aku yakin kak Rizal gak baca sampai akhir!”

“Memang iya.” Jawab Rizal seadanya. Kini wajah adiknya semakin merengut.

Entah sejak kapan Rizal begitu cuek dengan hal-hal yang justru penting dalam hidupnya. Ia tahu bahwa setelah ini dirinya akan menggantikan posisi ayahnya. Mau-tidak mau, siap-tidak siap, ia harus melakukannya, kan? Itu demi masa depan tokonya, keluarganya, dan tentunya masa depan dirinya. Walau Rizal sempat membantah dan menyatakan bahwa ia tidak akan pernah menggantikan posisi ayahnya, pada akhirnya ia tetap melakukannya. Rizal memang sudah bukan remaja labil. Umurnya saja sudah kepala dua. Tetapi jika ada hal yang menyangkut impiannya, ia akan goyah.

Sekarang siapa yang tidak goyah jika impian masa kecilnya dihalangi oleh impian orang tuanya?


***

Sudah 3 tahun berlalu sejak kepergian sang ayah, dan sudah 3 tahun pula toko musik yang bersejarah di kotanya itu bangkrut. Rizal tidak tahu sudah kerasukan apa sehingga pikirannya untuk menggantikan posisi ayahnya hilang begitu saja. Justru kini ia meniti karirnya sebagai pemusik, dan lihatlah betapa terkenalnya ia sekarang. Bukan hanya hal positif saja yang dikenal darinya, tetapi juga hal negatif tentangnya.

Tentu saja karena ia telah membiarkan toko musik ayahnya bangkrut tanpa ada yang menggantikan jabatan ayahnya.

Hal yang bodoh, ya?

Bahkan Rizal pun sempat merutuki dirinya sendiri mengapa ia tidak mencari seseorang yang dapat dipercaya untuk menjalankan toko musiknya. Ia terlalu sibuk dengan keinginannya sendiri sehingga melupakan apa yang diamanahkan oleh ayahnya.

“Ayah, maafkan aku...” ucap Rizal lirih.

Ia duduk di depan foto ayahnya sambil tersenyum pahit.

“Bagaimana jika sekarang aku kembali membangun toko ayah?”

Ia sangat tahu, ayahnya tidak akan menjawabnya. Ia pun sangat tahu, foto itu pun tak akan memberikan jawaban apapun. Sekalipun ia mengusap bingkai itu dengan jempolnya, jari telunjuknya, ataupun jemari-jemari yang lain, ia tidak akan mendapatkan apapun.

Sekarang ia hanya bisa bertanya kemana hati nuraninya akan berlabuh.

Jika salah satu pilihannya adalah kembali membangun toko itu, maka Rizal pun tahu jawabannya.

“Ayah...,” Ia menghirup udara sejenak.  “Aku akan mewujudkan kembali mimpi, ayah!” ucapnya mantap.

***


Ia yakin bahwa ayahnya dahulu pasti bekerja lebih keras. Lihat saja dirinya sekarang. 4 tahun berlalu, toko musik yang kembali dibangunnya belum sukses juga. Padahal dulu ayahnya cukup membutuhkan 2 tahun, toko musiknya sudah dikenal hingga luar kota. Toko musik terlengkap dan terpercaya, ditambah lagi dengan pemilik toko yang hangat dan ramah seperti ayah Rizal, memungkinkan beliau untuk cepat menyedot banyak pelanggan, kan?

Sayangnya Rizal tidak punya keahlian khusus untuk itu. Yang bisa ia lakukan adalah duduk, bermusik, meresapi lagu, dan membungkuk hormat ketika selesai bermain. Ia berhasil mendapatkan banyak atensi hanya dengan melakukan itu.

Jika untuk bersosialisasi? Ups, Jangan ditanya...

Rizal sangat buruk dalam hal itu.

Lagi-lagi hal ini berbeda dengan adik kecilnya yang kini sudah berumur belasan tahun. Bocah periang ini memiliki senyum menawan dan kepribadian yang hangat. Banyak orang yang nyaman dengannya, sekalipun mereka baru bertemu dengannya dalam waktu 15 menit.

“Kak, sepertinya kau terlihat lelah?”

Rizal tersenyum lemah pada adiknya, kemudian menggeleng cepat.

“Gak masalah kok. Kamu belajar aja. Katanya besok ulangan?” jawab Rizal. Ia kembali merapikan kertas-kertas yang berserakan di meja kerjanya.

“Besok ulangannya gampang kok!”
“Emang kamu tahu darimana?”

“Nebak. Tapi kayaknya emang gitu! Habisnya gurunya kemarin ngasih tahunya sambil senyum-senyum gitu.” Jelas adik Rizal.

Rizal pun tergelak. Setelah dipikir-pikir lagi, adiknya ini kadang kurang nyambung juga kalau diajak bicara.

“Bukannya kalau seperti itu justru semakin mencurigakan?” tanya Rizal sambil menaikkan satu alisnya. Berusaha meyakinkan untuk menarik kembali semua ucapan bocah itu.

“Ah, sudahlah! Pokoknya kau bisa mengandalkanku, kak!”

Rizal kembali terkekeh. Adiknya yang satu ini memang keras kepala.

“Ya sudah. Jaga toko bentar, ya. Aku tidur dulu.”

Ia pun akhirnya berganti shift dengan adiknya, kemudian beristirahat di kamarnya. Ia sempat berlatih semalaman untuk konsernya yang akan diadakan bulan depan. Konser yang diadakan adalah konser tunggal akbar, sehingga Rizal pun tidak bisa menganggapnya remeh.

Ia rasa, dengan adanya adik kecilnya itu, pekerjaannya bisa terasa sedikit lebih ringan.


***


Rizal duduk termenung di kamarnya. Kira-kira apa yang bisa ia lakukan untuk meningkatkan pelanggan di tokonya? Semua ini membuatnya depresi. Ia merasa takut gagal dan ingin berhasil di waktu yang sama. Bahkan sekarang ia hampir menelantarkan karir bermusiknya. Atau mungkin ia hanya tidak terbiasa dengan memiliki dua pekerjaan? Ia jadi berpikir, jika ia sudah berkeluarga sekarang, mungkin pikirannya akan lebih bercabang banyak.

Pagi itu ia kembali membuka tokonya. Ia berdoa supaya hari ini ada banyak pelanggan yang datang. Karena hari ini ia akan berada di dalam tokonya hingga sore. Mau-tidak mau ia harus merelakan latihan musiknya untuk konser minggu depan.

Begitu membuka pintu toko, adiknya berhambur masuk mendahului Rizal. Bocah itu langsung saja duduk dan memainkan piano yang ada di sudut ruangan. Melihat itu, pelipis Rizal berkedut kesal.

“Kau ini... Kenapa tidak membiarkan pemilik toko masuk duluan, sih?” ucapnya sambil menghampiri meja kerjanya.

“Aku sudah tidak sabar main piano di sini.” Jawab adiknya dengan cengiran lebarnya.

“Kesambet apa kamu sampai mau main musik begitu?”
“Kemarin aku mimpi. Aku terlihat keren sekali kalau bermain piano.”

Rizal melirik adiknya. Walaupun terdengar payah, tapi adiknya terlihat menikmati permainannya.

Baru saja ia ingin menegur adiknya dan mengingatkan bahwa itu adalah properti toko, tiba-tiba saja ada sesuatu yang muncul di kepalanya yang telah membuatnya mengurungkan niat. Ia baru saja mendapat ide yang bagus dan ia terlihat sangat yakin dengan itu. Ia berjalan mendekati adiknya dan duduk di sebelahnya.

“Mau duet?” tanya adiknya bak seorang profesional. Rizal hanya tertawa.

“Dengan senang hati, maestro kecil.” Jawabnya.

Mereka pun bermain piano bersama. Asal-asalan, namun mereka menikmatinya. Dengan ini ia semakin yakin, ia akan membidik targetnya dengan mudah.

***


Semua sudah disiapkan. Grand piano putih milik Rizal sudah diletakkan di depan toko. Adiknya terlihat sedang merapikan tuxedo hitamnya dengan –lagi-lagi terlihat- profesional.

Rizal terkekeh memandangi adiknya itu. Apa mungkin adiknya memiliki minat yang sama dengan dirinya? Ia rasa adiknya tidak buruk juga untuk menjadi seorang pemusik.

“Maestro kedua, apa kau siap?” tanya adiknya sambil melihat ke arah pengunjung yang mulai berdatangan. Anehnya, ia menomor-duakan seseorang yang justru seorang maestro handal.

Rizal tersenyum dan mengangguk mantap. Ia menepuk pundak adiknya.

“Waktu dan tempat dipersilahkan.” Ucap sang maestro.

Adiknya pun berlari ke arah kerumunan pengunjung. Ia menarik perhatian dengan keahlian alaminya itu, sementara Rizal sudah siap untuk memainkan lagu pertamanya.

Begitu adiknya memberi sinyal, Rizal mulai bermain pianonya. Ia sengaja mengambil lagu dari salah satu lagu konsernya agar ia bisa berlatih dua acara sekaligus.

Rizal meresapi permainannya dan tubuhnya ikut bergerak sesuai lagu. Para penonton mengangguk menikmati permainannya. Adik kecilnya memberi brosur kecil dari tokonya pada seluruh penonton yang ada. Terkadang bocah itu juga berbincang dengan beberapa dari mereka.

Begitu Rizal selesai memainkan lagunya, ia diam di tempatnya untuk memberi jeda. Kemudian ia mulai berdiri dan membungkuk pada penonton, diiringi dengan suara tepuk tangan yang meriah.

“Terima kasih,” ucap Rizal.

“Tapi masih ada satu menu utama yang akan kami hidangkan untuk anda semua.” Lanjutnya sambil tersenyum misterius.
Para penonton mulai terdengar riuh, saling berbisik dan menerka apa yang akan dilakukannya kali ini.

Rizal pun memberi sinyal kedua. Adiknya yang mengerti langsung tersenyum penuh semangat dan menghampiri kakaknya. Mereka membungkuk pada penonton, kemudian duduk berdampingan di kursi piano. Rizal mulai memainkan nada pembuka. Setelah itu, diikuti adiknya yang memainkan nada rendah.

Dan, ya! mereka akhirnya benar-benar duet.

Permainan mereka terdengar menyatu dan seirama. Berbeda dengan saat pertama kali berduet di toko. Rupanya keduanya sudah menyiapkan hal ini dari jauh-jauh hari. Siapa lagi kalau bukan Rizal yang memberi bimbingan kilat pada adiknya? Permainan adiknya sudah jauh lebih baik daripada yang kemarin. Dan adiknya yang kepedean itu sudah menyebut dirinya seorang maestro. Dasar bocah.
Penonton terlihat semakin menikmati permainan piano mereka. Lagu yang terdengar sedih itu mulai berubah menjadi menyenangkan. Penonton kembali mengangguk-angguk menikmati setiap ketukan yang direalisasikan dengan sebuah staccato, alias sebuah hentakan cepat dan keras pada tuts. Hingga mereka berada pada bait lagu yang memerlukan transisi. Mereka bermain lembut, kemudian pelan-pelan bermain keras, dan akhirnya berakhir pada hentakan keras.
Tepuk tangan dari para penonton langsung saja terdengar begitu mereka menyadari permainan selesai. Semua berteriak riuh dengan berbagai komentar yang positif. Hal ini membuat kedua maestro ini tersenyum puas. Mereka berdua berdiri, kemudian bersama-sama membungkuk.

“Lagi! Lagi! Lagi!” Teriak para penonton. Suasana di depan toko semakin ramai, dan para pengunjung semakin bertambah banyak.

Dua bersaudara itu saling memandang. Seakan mengerti satu sama lain, mereka menangguk mantap.

“Ayo jalankan rencana B!” gumam mereka.

Hal yang tak terduga itu benar-benar terjadi. Walau pada awalnya Rizal tidak yakin, tapi ia merasa tidak ada salahnya menambah lagu lain ketika perform utama mereka selesai. Kini ia kembali bermain, membuatnya merasa senang.

Namun ia masih belum membidik targetnya. Ini masih langkah awal. Dan tentu saja promosi dengan cara seperti ini akan terus berlanjut dengan banyak variasi. Ia pasti akan melakukannya lagi dengan adik kecilnya. Ia juga merasa bahwa ia bisa mewujudkan dua impian sekaligus. Ia jadi merutuki dirinya sendiri mengapa baru terpikirkan sekarang.

Tapi, itu tidak penting. Yang penting adalah... we should keep forward, right?

.

.

.

.


Ayah, aku akan terus berusaha.


Dan kini kusadari...

Hati nuraniku berlabuh pada dua dermaga.




Transparent Butterfly




Tidak ada komentar:

Posting Komentar