Sabtu, 19 Juli 2014

A House For Return

Aku ingin kembali pulang

Namun kini,

seperti yang kau tahu...

Aku sudah tak punya tempat untuk kembali

Aku rasa... ini menyedihkan

Tapi apa yang harus kulakukan terhadap kenyataan ini?

Bahkan aku tak pernah meminta.

Masih haruskah aku menerimanya sendirian?

Mereka pergi disaat aku merindukan bagaimana rasanya bahagia.

Bahagia menjadi bagian dari keluarga ini

Bahagia merasakan kebersamaan di meja makan.

Bahagia ketika Ibu menyambutku pulang.

Dan kini...

Jangankan tempat untuk kembali,

bahkan mereka pun turut menghilang dari semuanya.

dan merenggut habis senyuman dari wajahku.




Mungkin mereka tidak seberapa paham,

dengan bagaimana membahagiakan putri milik mereka satu-satunya.

Mungkin mereka juga tidak seberapa mengerti,

dengan bagaimana cara memahami sebuah kebahagiaan...

dari putri tunggalnya...

yang kini sudah jelas-jelas sirna.




Sejak kecelakaan itu, hah?

Yah, sejujurnya...

Kupikir ini hanya lelucon.

Kecelakaan itu hanya lelucon.

Senyuman terakhir mereka adalah hal yang lucu.

Mobil yang rusak itu hanyalah sebuah rekayasa.

Kupikir... aku memang sedang berada di antara keluarga pelawak

yang sewaktu-waktu membuatku tertawa hingga menangis.

dan sejujurnya...

Aku juga tidak paham...

Apakah aku benar-benar sedang tertawa saat itu?


***


"Hikari!"

...

"Apa kau baik-baik saja?"

Mungkin seperti itu

"Aku turut berduka cita atas kematian kedua orang tuamu. Kau pasti sangat terpukul akan hal ini"

...

"Kau pasti sangat sedih, kan?"

Siapa?

Siapa yang kau bilang sedih?

"Jika kau butuh bahu untuk bersandar, ada aku di sini."

Siapa?

Siapa yang sedang butuh bahu?

"Jangan menangis lagi!"

Siapa yang menangis?

"Hikari?"

Siapa?

......Siapa?

Ia memelukku. Meminjakanku bahunya, seperti apa yang ia katakan sebelumnya. Bodoh...

"Hikari... sudah! jangan berpura-pura tegar seperti itu. Ada aku di sini... Menangislah!"

Dia memang bodoh, juga sok tahu. Apa yang sedang ada di pikirannya?

"It's okay not to be okay, right?"

...

"Hikari?"

"...b-bodoh!"

Aku mendorongnya dengan kasar, kemudian berlari menjauh. Aku bisa mendengarnya berteriak memanggil namaku. Aku yakin, kini ia sedang mengejarku.

Sudah kubilang, kan? Dia benar-benar bodoh!

Aku berhenti berlari. Sudah lama aku tidak berlari seperti ini, membuatku merasa begitu lelah. Ia menarik tanganku dan membawaku menuju bangku halte. Tatapannya begitu sendu ketika melihatku. aku tidak mengerti mengapa ia menjadi orang yang bersedih ketika akulah yang mendapat musibah.

"Aku tahu..."

...

"Kalau kau sedih dan ingin menangis, sudah kubilang menangis saja!"

...

"Hikari?"

...

"Apa kau benar-benar mendengarku?"

"Diam, bodoh!"

Ia tersentak kaget mendapatiku membentaknya. Alisnya bertaut, kemudian mengalihkan pandangannya ke arah lain. Dan sekarang, ia benar-benar diam.

"Kau ini benar-benar sok tahu." ucapku pelan. Ia hanya menghela nafas.

"Tidak boleh, ya?"

"Tidak!"

Ia tersenyum simpul, kemudian menepuk pelan kepalaku.

"Hei, bocah! Kau tidak bisa menyembunyikan perasaanmu padaku selamanya. Kalau kau sedang lemah, akui saja."

"Apa urusanmu?!"

"Sudah kubilang kalau kau ingin menangis, lakukan saja! Apa sulitnya, sih?"

"Aku tidak ingin!"

...

Jeda beberapa waktu. Ia menoleh padaku dan memberikan tatapan tajam itu. Walaupun terasa menakutkan, tapi aku tidak akan terpengaruh. Ia hanya mencoba menginterupsiku, kan?

"Kau ini.....tch!"

Ia mendecih kesal. Aku masih berusaha tidak terpengaruh. Perlahan, ia pun meraih kepalaku dan menyandarkanku pada bahunya.

"Mereka memang meninggalkanmu, tapi aku tidak. Aku masih di sini!"

...

"Hikari... Aku masih di sini."

Rasanya, ada sebuah dinding...

yang kini perlahan runtuh karenanya.

Aku memeluknya dan mulai menangis. Aku memeluknya, seakan aku sedang memeluk mereka, dan seakan aku tidak akan melepaskannya kembali. Aku menangis, benar-benar menunjukkan bagaimana perasaan kehilangan terhadap orang-orang yang disayangi. Aku tidak bisa menganggap sepenuhnya kematian mereka adalah lelucon. Satu hal yang kusadari, ini adalah realita. Aku hidup dalam realita menyakitkan ini. Dia satu-satunya orang yang bersedih ketika akulah yang seharusnya bersedih, dan dialah yang kembali menyadarkanku bahwa ini adalah kenyataan pahit yang harus kutelan bulat-bulat.

"Aku tidak tahu..."

...

"Aku tidak tahu mengapa hal seperti ini harus benar-benar datang di saat yang tidak tepat."

...

"Kau tahu sendiri, kan? Mereka kembali bersatu sejak perceraian itu."

...

Ia masih diam. Aku semakin memeluknya dengan erat.

"Kami memasak bersama, bercanda di meja makan, menonton film komedi bersama, menanam bunga bersama, jalan-jalan bersama di festival musim panas..."

Ia mengeratkan pelukannya, begitu pun aku. Seakan ia mengerti dengan lemahnya aku sekarang.

"...Semuanya terasa menyenangkan"

...

"Dan sekarang aku tidak punya jalan kembali."

...

"Aku tidak bisa pulang."

...

"Aku tidak punya tempat untuk pulang."

...

"Aku..."

Aku kembali menangis. Kali ini lebih keras. Berharap mereka bisa mendengarku dari atas sana. Berharap kali ini mereka mengerti betapa sakitnya aku, mereka tinggalkan untuk kedua kalinya...

"mengapa?" tanyanya.

"Tentu saja kau masih punya."

Aku mendongak untuk menatap wajahnya yang berada lebih tinggi dari kepalaku. Aku tidak mengerti mengapa di saat seperti ini ia malah tersenyum lembut.

"Tapi, jika aku pulang... Aku akan selalu mengingat mereka." jawabku.

"Bukankah itu yang kau mau?"

"Tidak. Aku hanya ingin kebersamaan kami yang sesungguhnya."

...

"Aku takut pulang."

Ia mengusap air mataku pelan. Sungguh, aku tidak mengerti mengapa senyum lembut itu masih terpatri di wajahnya.

"Kalau begitu, aku akan menemanimu pulang."

"...A-Apa?!"

"Kau memang tidak bisa kembali pada saat membahagiakan itu. Tapi kau masih bisa mengenangnya, kan?"

....

"Semua orang mengerti bagaimana perasaan kehilangan, terlebih itu adalah orang yang kita sayangi. Kau tidak selamanya bisa lari dari tempat di mana kau berasal. Suatu saat kau pasti kembali dan mengingat kenangan itu."

Aku menunduk. Ia memang benar.

"Tapi, menurutku... daripada kau lari dari semuanya, lebih bagus jika kau hidup bersama kenangan mereka."

Ia mengangkat wajahku dan menampakkan kembali senyum lembutnya itu.

"Kalau kau masih merasa takut dengan itu, aku akan bersedia menemanimu menangis, hingga kau berhasil menyadari bahwa perasaan kehilangan itu tidak selamanya menyakitkan. Kau akan mengerti dan belajar. Ada hal menyenangkan yang menantimu di masa depan. Orang tuamu pun akan mengawasimu dari atas sana."

...

"Suatu saat kau pasti akan tahu... Kenangan mereka akan selalu berada dalam hatimu, kemudian menjadi sebuah dukungan tersendiri untukmu."

...

"Bahagiakanlah mereka dengan hal baik yang kau lakukan di dunia. Percayalah, mereka selalu mengawasi setiap langkahmu dari Sana."

Aku kembali meneteskan air mata. Pandanganku masih tidak bisa lepas darinya, dan kata-katanya terus terulang dalam pikiranku.

"Masih belum puas ya nangisnya?" ucapnya sambil mencubit pipiku.

"Tidak! Aku sedang bahagia! Terima kasih..."

.
.
.


Aku tersenyum lebar.

Aku sangat berterima kasih padanya.

 Mungkin kebahagiaan di rumah kami sudah sirna begitu saja. 

Namun, kenangan mereka akan tetap di hati, kan? 

Perasaan bahagia dan sedih yang bercampur aduk ketika mengingatnya,
 membuatku takut untuk pulang.

Tapi kini, ada seseorang yang membangun sebuah rumah baru untukku
 tanpa harus membongkar rumah lama. 

Rumah...

 sebuah tempat untuk kembali.

Ya! 
Sekarang aku tahu...

Aku sudah punya tempat untuk kembali.

Aku sudah punya alasan untuk pulang

Alasan itu...

Adalah pria ini, teman masa kecilku

dan kenangan orang tuaku,

dan kebahagiaan mereka di atas sana.


Aku tidak tahu mengapa...

Rasanya,

ketika berada di dua alam yang terpisah,

aku tidak hanya merasa hidup dalam kenangan...

Namun,

Aku merasa mereka selalu mengawasiku

dan mereka selalu berada di sampingku...

2 Kursi kosong di meja makan itu, mungkin akan selamanya kosong

Tapi aku yakin,

Hatiku tidak akan pernah kosong oleh mereka.



Transparent Butterfly

Tidak ada komentar:

Posting Komentar